Sebelum Belanda menjajah di negeri ini, Pulau Nusakambangan termasuk dalam zona spiritual Kerajaan Mataram. Karena didalamnya juga terdapat banyak goa yang biasa digunakan untuk menepi. Bahkan hingga saat ini, setiap saat-saat tertentu juga masih banyak ritualis yang melakukan ritual di goa-goa itu. Yang tidak kalah menariknya juga tiap satu tahun sekali, masyarakat Kabupaten Cilacap mengadakan even Sedekah Laut, yang titik akhir prosesinya berada di ujung selatan pulau ini.Jika saat ini Nusakambangan adalah pulau napi dan kawasan cagar alam, lalu bagaimana dengan Nusakambangan di masa lampau? Pengin tahu kisahnya seperti apa? Simak kutipan sejarah di bawah ini...
sumber: google images |
Legenda keraton siluman yaitu keraton Nusa Tembini, (dulu) hidup di tengah-tengah masyarakat daerah Cilacap. Dewi Sri Wulan adalah tokoh legendaris yang berkuasa di Nusa Tembini setelah memindahkan pusat, atau keraton Nusa Tembini ke sebelah utara.
Pemindahan keraton dilakukan karena faktor keamanan dan kesakralan. Pemusnahan tri-tunggal Pulebahas, Jurangbahas, dan Parungbahas beserta tri-tunggal di lautan Singalaut, Jayasamodra, dan Surajaladri, melumpuhkan kekuatan Nusa Tembini sebagai kerajaan maritim di belahan selatan Pulau Jawa. Pemusnahan mereka dilakukan dengan cara tidak ksatria, khususnya Pulebahas. Pulebahas terbunuh ketika ia hendak melakukan upacara perkawinannya.
Sebelumnya Pasukan Nusa Tembini disyaratkan agar tidak membawa senjata pada acara tersebut. Ada tipu daya dalam peristiwa perkawinan itu. Di pihak lain, Kamandaka (Banyak Catra) harus memetik buah hasil tindakannya itu. Ia kehilangan hak untuk menduduki tahta Kerajaan Pajajaran, meskipun ia seorang Putra Mahkota. Ia tersingkir dari negerinya sendiri. Kegagalan itu ditumpahkan dengan cara memerangi orang-orang Nusa Tembini yang mempunyai dendam atas kematian tuannya. Di sini, ada unjuk kekuatan Pajajaran atas Nusa Tembini. Orang-orang Nusa Tembini diberantas sampai ke akar-akarnya sehingga lumpuh.
Sebaliknya, Kamandaka menjadi pahlawan yang pantas menggantikan mertuanya. Ia menggeser 24 orang menantu yang lain. Para menantu tersebut mempunyai kedudukan yang lebih rendah bila dibandingkan dengan Kamandaka atau Banyak Catra yang berdarah Pajajaran. Unjuk kekuatan Pajajaran juga ditunjukkan pada pertempuran antara Pajajaran dengan Nusa Tembini. Pasukan Pasirluhur tidak diperbolehkan untuk turun ke kancah peperangan oleh Banyak Catra. Penolakan bantuan itu merupakan cara memamerkan kekuatan dan sekaligus menimbulkan kesan bahwa orang-orang Pajajaran saja yang dapat menaklukan musuh. Kemenangan tersebut adalah kemenangan murni Pajajaran, bukan kemengan Pasirluhur, bahkan pihak Pasirluhur merasa terselamatkan dan terbebas dari kemungkinan pengkarang-abangan pihak Nusa Tembini.
Keduapuluh empat menantu Adipati Kandha Daha tidak lebih sebagai penonton yang murni setelah mereka gagal menangkap maling yang mencuri hati Putri Bungsu dan maling itu sekarang berjaya di depan mereka. Kamandaka telah bergerak dari sisi negatif ke sisi positif. Perubahan tersebut telah menjungkir-balikkan keadaan sebelumnya. Kematian yang gagal berulang kedua kali merupakan tipuan, pamer kesaktian, dan sekaligus pelecehan. Darah dan hati anjing yang diserahkan kepada Adipati Kandha Daha merupakan kenakalan Banyak Catra, yang dibalas dengan hardikan bahwa Kamandaka itu berprilaku seperti an*ing karena telah merusak pagar ayu Putri Bungsu.
Tipuan yang berkedok Lutung Kesarung merupakan puncak dari segala tipuan yang dilegitimasikan sebagai anugerah dewata. Pakaian dewata tersebut telah menyelubungi realitas Kamandaka dalam melakukan pendekatan yang intensif terhadap Putri Bungsu. Putri Bungsu yang hidup penuh penderitaan karena cintanya kepada Kamandaka terhibur berkat kehadiran Lutung Kesarung. Seluruh penghuni istana Pasirluhur tertipu dengan penampilan Lutung Kesarung yang memelas. Pelepasan baju lutung merupakan pertobatan atas segala tindakannya. Untunglah Adipati Kandha Daha mengampuni Kamandaka, karena telah kembali ke jatidirinya, yaitu Banyak Catra. Namun, pertobatan itu harus dibayar dengan mahal. Ia harus menyerahkan tahta Pajajaran kepada adik tirinya yang sudah dijanjikan sebelum lahir. Prinsip sabda pandita ratu tan kena wola-wali memperkuat hal itu. Prinsip raja pendeta merupakan hukum yang tidak boleh dicederai.
Sementara itu, Patih Puletembini belum puas dengan kematian rajanya, Prabu Pulebahas. Puletembini membujuk dua saudara lelaki Pulebahas, yaitu Jurangbahas dan Parungbahas agar membalas dendam atas kematian kakak mereka. Puletembini juga mengusulkan agar dibangun benteng yang dikelilingi oleh bambu ori sebagai pertahanan dan penyelamatan diri. Ketika Singalaut, Jayasamodra, Surajaladri, Jurangbahas, dan Parungbahas menemui ajalnya, Patih Puletembini melarikan diri ke dalam benteng dan keesokan harinya ia menyatakan tunduk kepada para kesatria Pajajaran. Di sini, ia memperoleh keuntungan untuk menggantikan kedudukan Pulebahas. Barangkali perhitungan Puletembini meleset karena Dewi Sri Wulan adik bungsu Penguasa Nusa Tembini telah diangkat oleh Jurangbahas dan Parungbahas sebagai ratu di Nusa Tembini.
Dewi Sri Wulan memindahkan Keraton Nusa Tembini ke arah utara. Keraton tersebut dilindungi oleh benteng bambu ori yang kokoh bagai keraton siluman. Sejarah Cilacap menyebutnya baluwarti pring ori pitung sap. Keraton Nusa Tembini yang baru ini diilhami oleh bangunan benteng bambu ori ketika Jurangbahas, Parungbahas, Puletembini, dan Pasukan Nusa Tembini menyerbu ke Pasirluhur. Benteng bambu ori terkenal sangat kokoh dan tidak mudah tembus. Puletembini menyelamatkan diri ke dalam benteng ori sehingga terbebas dari kematian. Namun, Jurangbahas dan Parungbahas terlalu percaya diri dan tidak begitu menghiraukan pentingnya bambu ori.
Di sisi lain, kondisi masyarakat tampak menurun setelah Raden Banyak Belabur naik tahta di Kerajaan Pajajaran. Peristiwa yang meresahkan sering terjadi, misalnya perkelahian, pembunuhan, kebakaran, perampokan, dan wabah penyakit yang menyerang manusia dan hewan.
Prabu Banyak Belabur memanggil ahli nujum kerajaan agar dapat mengungkap tabir terjadinya semua peristiwa itu. Ahli nujum menyarankan agar dicari air mata kuda sembrani yang berbulu hijau. Sang Raja amat gembira mendengar keterangan ahli nujum. Beliau segera memerintahkan Patih Wirandanu supaya berangkat ke Nusa Tembini dengan diiringi sekitar dua ratus orang prajurit pilihan yang bersenjata lengkap. Sesampainya di sebelah barat Sungai Citanduy, Patih Wirandanu mencari kabar di mana letak Nusa Tembini. Lalu rombongan Pajajaran meneruskan perjalanan ke arah timur dengan naik rakit. Ketika sampai di Keraton Nusa Tembini, ternyata sudah tidak ada penghuninya. Tidak jauh dari Keraton lama itu, ada seorang lelaki yang sedang mengerjakan ladangnya. Sang Patih menanyakan di mana letak Keraton Nusa Tembini yang baru. Petani menerangkan Keraton Nusa Tembini telah dipindahkan ke arah utara di seberang laut. Keraton tersebut dikelilingi oleh benteng bambu ori yang amat kuat. Oleh karena itu orang luar tidak gampang memasuki keraton Nusa Tembini.
Patih Wirandanu kemudian mengirimkan utusan ke Keraton Nusa Tembini dengan maksud untuk meminjam kuda sembrani. Duta menyeberang ke utara dengan memakai rakit dan bertemu dengan petugas penjaga pesisir. Kemudian, utusan Patih Wirandanu dihantar sampai di depan Sang Ratu. Utusan menyampaikan surat yang berisi permintaan izin agar dapat meminjam kuda sembrani. Sang Ratu kemudian bertanya apakah bersedia pergi ke Pajajaran. Kuda Sembrani menjawab dengan gelengan kepala. Karena itulah, Sang Ratu tidak mengijinkan kuda sembrani dipinjam ke Pajajaran. Utusan segera pulang dan memberitahu kepada Patih Wirandanu. Sang Patih merasa malu jika tidak dapat menjalankan tugas raja. Kemudian, ia memerintahkan utusannya untuk membedah keraton Nusa Tembini. Namun, upaya itu gagal dan bahkan banyak prajurit yang terkena pelor dan jatuh mati. Prajurit yang luka-luka dan masih hidup pun mengundurkan diri.
Dikisahkan seorang raja dari Bali mengetahui bahwa Ratu Nusa Tembini amat cantik. Sang Raja segera mengirimkan utusan, yaitu seorang adhipati untuk menyampaikan surat lamaran. Sang Ratu Dewi Sri Wulan belum diterima tidaknya lamaran itu. Hal itu dilakukan karena negerinya kedatangan musuh dari Pajajaran. Utusan dari Bali disarankan menunggu hingga perang selesai. Utusan itu kemudian berdiam di sebelah utara kota.
Empat bulan berikutnya, bala bantuan dari Pajajaran datang. Namun, Patih Wirandanu belum memperoleh jalan keluar bagaimana menghancurkan benteng bambu ori. Patih teringat kepada seorang petani yang tinggal di dekat keraton lama. Menurutnya keraton dapat ditembus dengan pelor emas. Strategi ini ternyata tepat karena penghuni benteng merusak dengan cara menebangi bambu ori untuk mendapatkan emas sehingga keraton kelihatan dari luar. Patih Wirandanu segera masuk ke istana, tapi ia terkejut betapa cantiknya Sang Ratu. Sang Patih pun lupa terhadap tugasnya karena jatuh hati pada Sang Ratu, bahkan ia bermaksud melamarnya. Sang Ratu meminta selang waktu 40 hari. Sang ratu memerintahkan kepada abdinya untuk membuat arca emas yang mirip dengan dirinya di suatu tempat yang sekarang bernama Gunung Simping. Arca emas itu diberi sesaji sehingga dapat bergerak dan berbicara, lalau ditempatkan di atas tahta. Dei Sri Wulan pergi meninggalkan keraton ke arah timur laut.
Patih wirandanu seperti orang gila karena kasmaran kepada Dewi Sri Wulan. Ia tidak sabar menunggu selama 40 hari. Pada hari ke-40, ia segera pergi ke keraton Nusa Tembini dan menuju tempat Sang Ratu duduk. Arca Sang Ratu dipondong keluar dan naik rakit ke seberang selatan. Bersamaan dengan hal itu, Nusa Tembini terbakar sampai habis.
Raja Pajajaran selalu menanti pulangnya Patih Wirandanu. Namun yang ditungu-tunggu belum menampakkan diri. Sang Raja mengirimkan puteranya yang bernama Pangeran Banjaransari untuk menyusul ke Nusa Tembini. Sesampainya di kaki Gunung Gajah, Pangeran Banjaransari melihat Patih Wirandanu yang sedang memondong putri. Lalu, Patih Wirandanu dibunuhnya dan dimakamkan di kaki Gunung Gajah. Ketika Pangeran Banjaransari melihat wajah arca Sang Ratu, ia pun jatuh hati. Namun, arca itu terus melompat. Pangeran Banjaransari mengejarnya dengan diiringi abdinya yang bernama Ki Denggung. Sang Ratu dicari, tapi tak jua ditemukan. Sang Pangeran dan Ki Denggung tetap menunggu munculnya Sang Ratu hingga saat meninggalnya.